Terdapat banyak sekali pandangan mengenai model pembangunan masyarakat. Pada tulisan kali ini, penulis ingin memfokuskan pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dijalankan pemerintah Indonesia.
Apa itu program PNPM?
Dari aspek historis, PNPM Mandiri diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 April 2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dan program ini merupakan scaling up (pengembangan yang lebih luas) dari program-program penanggulangan kemiskinan pada era-era sebelumnya. PNPM Mandiri digagas untuk menjadi payung (koordinasi) dari puluhan program penanggulangan kemiskinan dari berbagai departemen yang ada pada saat itu, khususnya yang menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat (community development) sebagai pendekatan operasionalnya.
Lahirnya PNPM Mandiri tidak secara spontan. Setelah Presiden mendapat laporan dari berbagai pihak, mengirim utusan ke berbagai daerah, wawancara langsung dengan pelaku program, bahkan sudah lebih dari 30 negara mengirimkan dutanya untuk belajar tentang pemberdayaan masyarakat di Indonesia, maka mulai awal tahun 2006 gagasan PNPM sudah menjadi wacana di Istana Negara. Tepatnya pada bulan Agustus 2006, presiden memutuskan bahwa pemberdayaan masyarakat harus menjadi program nasional. Kemudian lahirlah pada tahun itu kebijakan tentang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Dua program yang menjadi pilar utama PNPM Mandiri sebelum program-program lain bergabung, adalah : PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Kemudian mulai bergabung pada tahun-tahun berikutnya ke dalam PNPM Mandiri adalah P2DTK, PPIP, PUAP, PISEW dan Pariwisata.
Sebagaimana kita ketahui, sebelum diluncurkannya PNPM Mandiri pada tahun 2007, telah banyak program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat (community development) sebagai pendekatan operasionalnya. Dimulai dari program yang paling terkenal di masa Pemerintahan Orde Baru, adalah program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang dimulai pada tahun 1993/1994, awal Repelita VI. Program ini merupakan manivestari dari Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Program IDT dilaksanakan dengan memberikan bantuan modal usaha berupa dana bergulir kepada lebih 20 ribu desa tertinggal dengan dana sebesar Rp. 20 juta setiap tahun. Bantuan dana bergulir ini diberikan selama 3 tahun anggaran. Sejalan dengan bantuan dana bergulir tersebut pemerintah juga memberikan bantuan teknis pendampingan yang memberikan bantuan teknis kepada masyarakat desa dalam rangka pemanfaatan dana bergulir tersebut.
Belajar dari keberhasilan dan kegagalan IDT, kemudian lahir generasi kedua program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat lainnya adalah : PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan Departemen Dalam Negeri – 1998, P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) yang dilaksanakan Departemen Pekerjaan Umum – 1999, PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang dilaksanakan Departemen Kelautan dan Perikanan, KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang dilaksanakan Departemen Sosial, dan lain-lain. Program-program tersebut berjalan sendiri-sendiri menurut kebijakan Departemen yang bersangkutan, tidak terintegrasi, parsial dan sektoral.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan atau PNPM-Perdesaan atau Rural PNPM) merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat yang mendukung PNPM Mandiri yang wilayah kerja dan target sasarannya adalah masyarakat perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan mengadopsi sepenuhnya mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan sejak 1998-2007.
Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan sebagai program pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air, bahkan terbesar di dunia. Dalam pelaksanaannya, program ini memprioritaskan kegiatan bidang infrastruktur desa, pengelolaan dana bergulir bagi kelompok perempuan, kegiatan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di wilayah perdesaan. Program ini terdiri dari tiga komponen utama, yaitu : a) Dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) untuk kegiatan pembangunan, b) Dana Operasional Kegiatan (DOK) untuk kegiatan perencanaan pembangunan partisipatif dan kegiatan pelatihan masyarakat (capacity building), dan c) pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh para fasilitator pemberdayaan, fasilitator teknik dan fasilitator keuangan.
Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, seluruh anggota masyarakat didorong untuk terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya.
Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan berada di bawah binaan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Departemen/Kementrian Dalam Negeri. Program ini didukung dengan pembiayaan yang bersumber dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), apartisipasi dari CSR (Corporante Social Responcibility) dan dari dana hibah serta pinjaman dari sejumlah lembaga dan negara pemberi bantuan dibawah koordinasi Bank Dunia.
Berangkat dari komplesitas permasalahan tersebut, Pemerintah telah menelurkan beragam program dimana salah satunya adalah PNPM Mandiri Perdesaan. PNPM MPd sebagai program pemberdayaan terbesar di Indonesia lahir atas dasar keprihatin atas masalah kemiskinan di Indonesia.Semenjak diberlakukannya program PNPM Mandiri dari tahun 2003 yang dulunya bernama PPK yang kemudian diperluas menjadi PNPM secara nasional sejak tahun 2007 memiliki visi tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.
Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Model pengembangan seperti apa yang digunakan pada program PNPM?
Menurut Jim Ife & Frank Tegoriero (2008), setidaknya ada enam dimensi pengembangan atau pemberdayaan masyarakat dan kesemuanya berinteraksi satu dengan lainnya dalam bentuk-bentuk yang kompleks. Keenam dimensi tersebut yaitu:
– Pengembangan sosial
– Pengembangan ekonomi
– Pengembangan politik
– Pengembangan budaya
– Pengembangan lingkungan
– Pengembangan personal/ spiritual
Beberapa dimensi lebih fundamental daripada lainnya; misalnya banyak orang (khususnya orang-orang pribumi) akan beranggapan bahwa pengembangan personal/spiritual merupakan landasan untuk semua pengembangan yang lain. Tetapi untuk tujuan penyusunan model pengembangan masyarakat dan model pemikiran tentang peran pekerja masyarakat, keenam dimensi di atas dipertimbangkan sebagai hal yang sangat penting.
Dalam situasi tertentu, tidak semua dimensi ini akan memiliki prioritas yang setara. Masyarakat mana pun akan mengembangkan keenam dimensi tersebut untuk level-level yang berbeda; misalnya, satu masyarakat mungkin memiliki basis ekonomi yang kuat, partisipasi politik yang sehat dan identitas budaya yang kuat, tapi sekaligus memiliki pelayanan kemanusiaan yang kurang baik, lingkungan fisik yang buruk, harga diri yang rendah dan tingkat pengasingan yang tinggi. Dalam masyarakat yang demikian, pengembangan lingkungan dan personal/spiritual akan menjadi prioritas tertinggi dalam program pengembangan masyarakat.
Nämun begitu, masyarakat lainnya akan mencerminkan gambaran yang berbeda dan memerlukan prioritas yang berbeda dalam proses pengembangan. Poin penting yaitu bahwa keenam aspek pengembangan masyarakat tersebut sangat penting dan untuk memiliki masyarakat yang benar-benar sehat dan berfungsi, perlu mencapai level pengembangan yang tinggi untuk keenam dimensi secara keseluruhan.
Pekerja masyarakat manapun atau siapa pun yang terkait dengan program pengembangan masyarakat harus memperhatikan keenam dimensi itu dan tujuan tersebut harus memaksimalkan pengembangan pada seluruh dimensi itu. Schuler, Hashemi dan Riley (dalam Edi Suharto, 2008) mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan:
– Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
– Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
– Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
– Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
– Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
– Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
– Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
– Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.
Konsep pembangunan partisipatif adalah suatu gejolak baru yang hadir di akhir abad ke-20 sebagai jawaban atas lambannya pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang yang mengacu pada teori-teori modernisasi. Robert Chambers (1987) dalam bukunya “Rural Development: Putting The Last First” (Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang) membongkar habis kegagalan pembangunan pada negara-negara dunia ketiga yang menerapkan teori modernisasi berdasarkan intervensi negara-negara barat yang dimotori oleh Amerika Serikat, khususnya pada pembangunan pedesaan. Pada buku tersebut Chambers juga menawarkan solusi dengan proposisinya “mendahulukan yang terakhir” sebagai kontribusi pemikiran yang kontras untuk sebuah konsep pembangunan sebelumnya. Konsep pembangunan partisipatif ini adalah suatu paradigma pembangunan baru di mana menggerakkan masyarakat tidak lagi berpola ‘top-down’ dalam menuntaskan segala persoalan pembangunan dan kemasyarakatan yang ada di sekitar mereka, melainkan dengan cara berdaya sendiri, dengan menggali potensi yang ada di dalam diri dan lingkungan sekitarnya dalam rangka menghadirkan apa sesungguhnya yang mereka butuhkan untuk bergerak ke arah kemajuan.
Dunia juga mengalami perubahan dalam mengukur keberhasilan pembangunan yang dilakukan suatu bangsa. Indikator keberhasilan pembangunan yang bersifat konvensional seperti naiknya pendapatan bukan lagi satu-satunya tolok ukur keberhasilan pembangunan. Ada indikator baru keberhasilan pembangunan adalah kesuksesan negara menciptakan civil society. Negara tidak hanya mengutamakan pembangunan ekonomi tanpa memberi kesempatan pada rakyat dan organisasi yang hidup di dalamnya untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan memberi alternatif solusi sebagai bentuk perwujudan penghormatan pada hak asasi manusia. Bahkan rakyat pun dipersilakan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan (Sutrisno, 1995).
Maka tidak mengherankan jika saat ini hampir seluruh kegiatan pembangunan, pelaksanaannyadilakukan dengan menggunakan metoda pembangunan partisipatif. Walaupun pada kenyataannya masing-masing kegiatan pembangunan memiliki perbedaan target sasaran masyarakat dan partisipasi seperti apa yang diharapkan terjadi dalam pembangunan. Perbedaan tersebut terjadi pada tingkatan kedudukan fungsi dan peran para pelaku di masyarakat, serta proses pengkomunikasiannya. Kondisi yang terjadi saat ini adalah partisipasi dan keaktifan masyarakat dalam pembangunan baru dipahami sebagai seberapa banyak jumlah yang hadir dalam setiap tahap pembangunan, bukan seberapa besar keterlibatan mereka.
Model yang digunakan dalam program ini adalah model pembangunan partisipatif. Untuk mengendalikan program PNPM agar tepat sasaran. Program PNPM mengenal istilah fasilitator di tingkat kecamatan. Fasilitator memiliki tugas untuk membantu masyarakat menentukan prioritas pembangunan di wilayah mereka.
Apa itu fasilitator dalam program PNPM?
Lippit (1958) dan Rogers (1983) menyebut “fasilitator” itu sebagai “agen perubahan (change agent)”, yaitu seseorang yang atas `nama pemerintah atau penyelenggara komunikasi pembangunan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh (calon) penerima manfaat dalam kegiatan pembangunan.
Fasilitator adalah pekerja profesional sebagai pelaksana program/ kegiatan demi keberhasilan dan atau tercapainya tujuan-tujuan komunikasi pembangunan. Karena itu, fasilitator haruslah memiliki kualifikasi tertentu baik yang menyangkut kompetensi, kepribadian, sikap, dan ketrampilan berkomunikasi untuk memfasilitasi komunikasi pembangunan.
Berdasarkan status dan lembaga tempatnya berkerja, fasilitator dibedakan dalam (UU No. 16 Tahun 2006):
(1) Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu pegawai negeri yang ditetapkan dengan status jabatan fungsional sebagai Fasilitator.
Fasilitator PNS mulai dikenal sejak awal 1970-an seiring dengan dikembangkannya konsep “catur sarana unit desa” dalam program BIMAS.
Sedang jabatan fungsional penyuluh, mulai dibicarakan sejak pelaksanaan proyek penyuluhan tanaman pangan (National Food Crops Extension Project/NFCEP) sejak tahun 1976.
(2) Fasilitator Swasta, yaitu fasilitator yang berstatus sebagai karyawan perusahaan swasta (produsen pupuk, pestisida, perusahaan benih, alat/mesin pertanian, dll). Termasuk kategori penyuluh swasta adalah, penyuluh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)
(3) Fasilitator Swadaya, yaitu fasilitator yang berasal dari masyarakat yang secara sukarela (tanpa mengharapkan imbalan) melakukan kegiatan komunikasi pembangunan di lingkungannya. Termasuk dalam kelompok ini adalah, fasilitator yang diangkat dan atau memperoleh imbalan dari masyarakat di lingkungannya.
Mereka itu, dalam prakteknya, terdiri dari :
a) Aparat fungsional pemerintah
b) Pelaku bisnis, Pusat Informasi, dan Media,
c) Pegiat lembaga non-pemerintah atau LSM
d) Tokoh masyarakat
e) Kelompok profesional
f) Sukarelawan, Dll
Secara konvensional, peran fasilitator hanya dibatasi pada kewajibannya untuk menyampaikan inovasi dan atau mempengaruhi penerima manfaat melalui metode dan teknik-teknik tertentu sampai mereka (penerima manfaat) dengan kesadaran dan kemampuannya sendiri secara sukarela melaksanakan program/kegiatan dan atau mengadopsi inovasi yang disampaikan. Tetapi, dalam perkembangannya, peran fasilitator tidak hanya terbatas pada fungsi menyampaikan inovasi dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penerima manfaatnya, tetapi ia harus mampu mengorganisasikan, memotivasi dan menggerakkan, termasuk juga melakukan peran bantuan dan advokasi kebijakan yang diperlukan penerima manfaatnya, fasilitator juga harus mampu menjadi jembatan penghubung antara pemerintah atau penyelenggara komunikasi pembangunan yang diwakili dengan masyarakatnya, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat, maupun untuk menyampaikan umpan-balik atau tanggapan masyarakat kepada pemerintah/lembaga penyelenggara yang bersangkutan.
Sebab, hanya dengan menempatkan diri pada kedudukan atau posisi seperti itulah ia akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam arti, mampu membantu masyarakat memperbaiki mutu hidup dan kesejahteraanya, dan dilain pihak, ia akan memperoleh pengakuan dan dukungan serta kepercayaan sebagai “agen pembaharuan” yang handal dari masyarakat penerima manfaatnya.
Sehubungan dengan peran yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab setiap fasilitator seperti itu, Levin (1943) dalam Mardikanto (2007) mengenalkan adanya 3 (tiga) tahapan peran fasilitator yang terdiri atas kegiatan-kegiatan:
1) pencairan diri dengan masyarakat penerima manfaat,
2) menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan.
3) pemantapan hubungan dengan masyarakat penerima manfaat.
Ketiga macam peran tersebut, oleh Lippit (1958) dikembangkan menjadi beberapa peran lain yang lebih rinci, yaitu:
1) Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan Dalam tahapan ini, setiap fasilitator harus mampu memainkan perannya pada kegiatan-kegiatan:
a) Diagnosa masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang benar-benar diperlukan (real need) masyarakat penerima manfaatnya.
b) Analisis tentang motivasi dan kemampuan masyarakat penerima manfaat untuk melakukan perubahan, sehingga upaya perubahan yang direncanakan mudah diterima dan dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya (dana, pengetahuan, ketrampilan, dan kelembagaan) yang telah dimiliki masyarakat penerima manfaatnya
c) Pemilihan obyek perubahan yang tepat, dengan kegiatan awal yang benar-benar diyakini pasti berhasil dan memiliki arti yang sangat strategis bagi berlangsung¬nya perubahan-perubahan lanjutan di masa-masa berikut¬nya.
d) Analisis sumberdaya yang tersedia dan atau dapat digunakan oleh fasilitator yang bersama-sama penerima manfaatnya untuk perubahan seperti yang direncanakan.
e) Pemilihan peran bantuan yang paling tepat yang akan dilakukan oleh fasilitator, baik berupa bantuan keahlian, dorongan/dukungan untuk melakukan perubahan, pemben-tukan perubahan, pembentukan kelembagaan, atau mem-perkuat kerjasama masyara¬kat atau menciptakan suasana tertentu bagi terciptanya perubahan.
2) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan
Dalam tahapan ini, kegiatan yang harus dilakukan oleh fasilitator adalah:
a) Menjalin hubungan yang akrab dengan masyarakatnya selaku penerima manfaatnya
b) Menunjukkan kepada masyarakat penerima manfaatnya tentang pentingnya perubahan-perubahan yang harus dilakukan, dengan menunjukkan masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang belum dirasakan oleh masyarakat penerima manfaatnya,
c) Bersama-sama masyarakat, menentukan prioritas kegia¬tan, memobilisasi sumberdaya (mengumpulkan dana, menyelenggarakan pelatihan, membentuk dan mengembangkan kelembagaan), dan memimpin (mengambil inisiatif, mengarahkan, dan membimbing) perubahan yang direncana¬kan.
3) Memantapkan hubungan dengan masyarakat penerima manfaatnya, melalui upaya-upaya:
a) Terus menerus menjalin kerjasama dan hubungan baik dengan masyarakat penerima manfaatnya, utamanya tokoh-tokohnya (baik tokoh formal maupun tokoh informal),
b) Bersama-sama tokoh-tokoh masyarakat memantapkan upaya-upaya perubahan dan merancang tahapan-tahapan perubahan yang perlu dilaksanakan untuk jangka panjang, dan
c) Terus-menerus memberikan sumbangan terhadap perubahan yang profesional melalui kegiatan penelitian rumusan konsep perubahan yang akan ditawarkan.
Berkaitan dengan peran penerima manfaatnya, Mosher (1968) mengungkapkan bahwa setiap fasilitator harus mampu melaksanakan peran ganda sebagai:
1) Guru, yang berperan untuk mengubah perilaku (sikap, pengetahuan, dan ketrampilan) masyarakat penerima manfaatnya.
2) Penganalisis, yang selalu melakukan perngamatan terhadap keadaan (sumberdaya alam, perilaku masyarakat, dan kemampuan dana, dan kelembagaan yang ada) dan masalah-masalah serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat penerima manfaatnya, dan melakukan analisis tentang alternatif pemecahan masalah/ pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
3) Penasehat, untuk memilih alternatif perubahan yang paling tepat, yang secara teknis dapat dilaksanakan, secara ekono-mi menguntungkan, dan dapat diterima oleh nilai-nilai sosial budaya setempat.
4) Organisator, yang harus mampu menjalin hubungan baik dengan segenap lapisan masyarakat (terutama tokoh-tokoh¬nya), mampu menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi masyarakat, mampu berinisiatif bagi terciptanya perubahan-perubahan serta dapat memobilisasi sumberdaya, mengarahkan dan membina kegiatan-kegiatan, msupun mengembangkan kelembagaan-kelembagaan yang efektif untuk melak¬sanakan perubahan-perubahan yang telah direncanakan.
Lebih lanjut, Mardikanto (2010) menyampaikan beragam peran fasilitator yang disebutnya sebagai edfikasi, yaitu akronim dari:
(1) Peran edukasi, yaitu berperan sebagai pendidik dalam arti untuk mengembangkan proses belajar-bersama penerima manfaatnya, dan terus menanamkan pentingnya belajar sepanjang hayat kepada masyarakat penerima manfaatnya.
(2) Peran diseminasi inovasi, yaitu peran penyebarluasan informasi/inovasi dari ”luar” kepada masyarakat penerima manfaatnya, atau sebaliknya; dan dari sesama warga masyarakat kepada warga masyarakat yang lain (di dalam maupun antar sistem sosial yang lain)
(3) Peran fasilitasi, yaitu memberikan kemudahan dan atau menunjukkan sumber-sumber kemudahan yang diperlukan oleh penerima manfaat dan pemangku kepentingan pembangunan yang lain. Dalam pengertian fasilitasi, termasuk di dalamnya adalah peran mediasi atau sebagai perantara antar pemangku kepentingan pembangunan.
(4) Peran konsultasi, yaitu sebagai penasehat atau pdmberi alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat penerima manfaatnya dan pemangku kepentingan yang lain.
(5) Peran advokasi, yaitu memberikan peran bantuan kaitannya dengan rumusan/pengambilan keputusan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakatpenerima manfaatnya (utamanya bagi kelompok kelas-bawah).
(6) Peran supervisi, yaitu peran sebagai penyelia (supervisor) pelaksanaan kegiatan advokasi dan Komunikasi Pembangunan yang ditawarkan dan atau dilaksanakan oleh masyarakat penerima manfaatnya
(7) Peran pemantauan (monitoring) dan evaluasi, yaitu peran untuk melakukan pengamatan, pengukura, dan penilaian atas proses dan hasil-hasil Komunikasi Pembangunan, baik selama kegiatan masih sedang dilaksanakan (on-going), maupun pada saat sebelum (formatif) dan setelah kegiatan dilakukan (ex-post/sumatif).
Selaras dengan peran yang harus dimainkan oleh setiap fasilitator seperti telah dipaparkan di atas, Berlo (1961) mengemukakan 4 (empat) kualifikasi yang harus dimiliki setiap fasilitator yang mencakup:
1) Kemampuan berkomunikasi, hal ini tidak hanya terbatas pada kemampuan: memilih inovasi, memilih dan menggunakan media komunikasi yang efektif, memilih dan menerapkan metoda yang efektif dan efisien, memilih dan menyiapkan dan menggunakan alat bantu dan alat peraga yang efektif dan murah; tetapi yang lebih penting adalah kemampuan dan ketrampilan fasilitator untuk beremphati dan berinteraksi dengan masyarakat penerima manfaatnya.
2) Sikap fasilitator yang:
a) Menghayati dan bangga terhadap profesinya, serta merasakan bahwa kehadirannya untuk melaksanakan tugas itu memang sangat dibutuhkan masyarakat penerima manfaatnya.
b) Meyakini bahwa inovasi yang disampaikan itu telah teruji kemanfaatannya, memiliki peluang keberhasilan untuk diterapkan pada kondisi alam wilayah kerjanya, memberikan keuntungan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, serta meyakini bahwa inovasi yang akan disampaikan itu benar-benar merupakan kebutuhan nyata (meskipun seringkali belum dapat dirasakan) masyarakat penerima manfaatnya.
c) Menyukai dan mencintai masyarakat penerima manfaatnya, dalam artian selalu siap memberikan bantuan dan atau melak¬sanakan kegiatan-kegiatan demi berlangsungnya perubahan-perubahan kehidupan masyarakat penerima manfaatnya.
3) Kemampuan /penguasaan pengetahuan tentang:
a) Isi, fungsi, manfaat, dan nilai-nilai yang terkandung dalam inovasi yang disampaikan, baik secara konseptual (keilmiahan) maupun secara praktis.
b) Latar belakang dan keadaan masyarakat penerima manfaatnya, baik yang menyangkut perilaku, nilai-nilai sosial budaya, keadaan alam, maupun kebutuhan-kebutuhan nyata yang diperlukan masyarakat penerima manfaatnya.
c) Segala sesuatu yang seringkali menyebabkan warganya suka atau tidak menghendaki terjadinya perubahan dan segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat seringkali cepat/lambat mengadopsi inovasi.
4) Karakteristik sosial-budaya fasilitator
Di dalam kenyataannya, kualifikasi fasilitator tidak cukup hanya dengan memenuhi persyaratan ketrampilan, sikap dan pengetahuan saja, tetapi keadaan latar belakang sosial budaya (bahasa, agama, kebiasaan-kebiasaan) seringkali justru lebih banyak menentukan keberhasilan penyuluhan yang dilaksanakan.
Karena itu, fasilitator yang baik, sejauh mungkin harus memiliki latar belakang sosial budaya yang sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat penerima manfaatnya. Setidak-tidak¬nya, jika seorang fasilitator akan bertugas di wilayah kerja yang memiliki kesenjangan sosial budaya yang telah dimiliki¬nya, ia harus selalu berusaha untuk menyiapkan diri dan berusaha terus menerus mempelajari dan menghayati nilai-nilai sosial budaya masyarakat penerima manfaatnya itu.
Terkait dengan kualifikasi fasilitator tersebut, Tim Persiapan Lembaga Sertifikasi Profesi Fasilitator Komunikasi Pembangunan, yang difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri bersama-sama the British Council (2009) merumuskan bakuan kompetensi yang merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas penyuluhan pertanian. Berdasarkan definisi tersebut, pengelompokan unit-unit kompetensi dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu Kelompok Kompetensi Umum, Kelompok Kompetensi Inti dan Kelompok Kompetensi Khusus (http://lsp-fpm.or.id/).
Kelompok Kompetensi Umum mencakup unit-unit kompetensi yang berlaku dan dibutuhkan pada semua kelompok fasilitator, unit kompetensi kelompok umum (http://lsp-fpm.or.id/), meliputi:
(1) Membangun relasi sosial,
(2) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya masyarakat
(3) Menyadarkan kebutuhan masyarakat
(4) Melaksanakan fasilitasi pembelajaran
(5) Meningkatkan aksesibilitas antar pemangku kepentingan
(6) Membangun visi dan kepemimpinan
Kelompok Kompetensi Inti mencakup unit-unit kompetensi yang berlaku dan dibutuhkan untuk mengerjakan tugas-tugas inti (fungsional), dan merupakan unit-unit yang wajib (compulsory) untuk bidang keahlian fasilitator. Unit kompetensi inti meliputi:
(1) Membangun jejaring dan kemitraan
(2) Membangun modal-sosial
(3) Membangun kapasitas kelembagaan masyarakat dan kelembagaan pemerintahan
(4) Memperkuat posisi-tawar
(5) Merancang perubahan
(6) Mendesain proses pembelajaran
(7) Menyiapkan kader Komunikasi Pembangunan\
(8) Mengembangkan kemandirian masyarakat
(9) Meningkatkan aksesibilitas antar pemangku kepentingan
(10) Mengelola konflik
(11) Mengembangkan sistem sanksi (reward & punishment)
Kelompok kompetensi khusus mencakup unit-unit kompetensi yang bersifat spesifik sebagai inovator/pembaharu, yaitu:
(1) Mengembangkan ide/metodaproduk baru di bidang/sektor kegiatan tertentu
(2) Memfasilitasi penerapan ide/metoda/produk baru di bidang/ sektor kegiatan tertentu
Fasilitator Kecamatan adalah pendamping masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan PNPM Mandiri Perdesaan. Peran fasilitator kecamatan adalah memfasilitasi masyarakat dalam setiap tahapan PNPM Mandiri Perdesaan pada tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian, selain itu juga berperan dalam membimbing kader-kader desa atau pelaku-pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di desa dan kecamatan.
Tugas Pokok dan Fungsi Fasilitator Kecamatan dalam program PNPM Mandiri Perdesaan berdasarkan penjelasan V PTO PNPM-MP adalah sebagai berikut (Depdagri, 2008):
1. Menyebarluaskan dan mensosialisasikan PNPM Mandiri Perdesaan kepada masyarakat dan aparat desa/kecamatan
2. Memfasilitasi KPMD dalam pendataan RTM (Rumah Tangga Miskin)
3. Menyusun Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) pelaksanaan kegiatan bersama masyarakat dimulai dari proses sosialisasi hingga pelestarian kegiatan.
4. Memastikan dan memfasilitasi terlaksananya tahapan-tahapan PNPM Mandiri Perdesaan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian dengan tetap memperhatikan penerapan prinsip-prinsip PNPM Mandiri Perdesaan
5. Memberikan pelatihan-pelatihan dan bimbingan kepada masyarakat dan pelaku-pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di desa dan kecamatan (KPMD, PL, Tim Pengelola Kegiatan / TPK, Unit Pengelola Kegiatan / UPK, Tim Penulis Usulan, Tim Pengawas dll.)
6. Memberikan pelatihan-pelatihan dan bimbingan peningkatan kapasitas pemerintahan lokal baik di desa dan antar desa (BPD, Kepala desa, aparat kecamatan, dll.)
7. Memfasilitasi pembentukan dan pengembangan Badan Kerja sama Antar Desa (BKAD)
8. Melakukan pengawasan dan verifikasi terhadap proses pencairan dan penggunaan dana PNPM Mandiri Perdesaan untuk dapat dipastikan penggunaannya secara terbuka dan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan yang sebenarnya.
9. Memfasilitasi dan membantu survei lapangan terhadap usulan kegiatan simpan pinjam dan kegiatan yang menunjang kualitas hidup seperti bidang pendidikan dan kesehatan (di luar bangunan atau prasarana).
10. Mengidentifikasi kebutuhan bantuan teknis terhadap usulan kegiatan simpan pinjam, pendidikan dan kesehatan yang diperlukan
11. Mengidentifikasi kebutuhan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
12. Mengadakan pelatihan secara sederhana dan mudah dimengerti masyarakat berdasarkan atas hasil identifikasi kebutuhan pengetahuan dan ketrampilan
13. Membantu Pendamping UPK dalam membimbing pengembangan hasil kegiatan ekonomi dari pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan sebelumnya dan kegiatan simpan pinjam.
14. Mendorong terciptanya mekanisme kontrol atau pengawasan oleh masyarakat sendiri
15. Melakukan evaluasi bersama masyarakat terhadap pelaksanaan program dan kinerja pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di kecamatan dan desa
16. Melaporkan realisasi RKTL, kemajuan kegiatan, masalah dan upaya penanganannya kepada Fasilitator Kabupaten dengan tembusan kepada Camat u.p. PjOK
17. Mengadakan rapat koordinasi bulanan di kecamatan
18. Menghadiri rapat koordinasi bulanan di kabupaten dan menyampaikan laporan perkembangan kegiatan
19. Menjunjung tinggi kode etik fasilitator dan konsultan serta siap diberhentikan jika melakukan pelanggaran terhadap kode etik tersebut.
20. Memastikan pengelolaan dana di UPK sesuai prosedur dan ketentuan, dan secara berkala melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan kas dan rekening.
21. Mengumpulkan SPM dan SP2D serta melaporkan realisasi penggunaan dana dalam rangka pelaporan SAI Fasilitator Kabupaten.
Penutup
Program PNPM yang telah direncanakan, diimplementasikan dan berdampak pada masyarakat sudah tidak lagi dilaksanakan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebagian besar dana yang diperuntukkan bagi kegiatan ini beralih kebijakan menjadi Dana Pendamping Desa. Secara substansi terdapat perbedaan pendekataan dalam kedua program ini. Pendampingan yang dilaksanakan program Pendamping Desa, sama sekali berbeda dengan kegiatan yang dilaksanakan fasilitator PNPM. Penulis memberi masukan melalui tulisan ini agar pemerintah memperhatikan keberhasilan program PNPM untuk bisa diaplikasikan pada program pendamping desa. Untuk lebih memperkuat argumentasi keberhasilan program PNPM, pada tulisan ini, penulis akan mencantumkan beberapa hasil penelitian berkaitan dengan program PNPM, antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan Mubarak (2010) berjudul Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau dari Proses Pengembangan Kapasitas pada Kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan di Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kegiatan pengembangan kapasitas, masyarakat di Desa Sastrodirjan telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip pemberdayaan dan telah berhasil mengubah tingkat kesadaran masyarakat serta meningkatkan pemahamannya untuk berperan dalam pembangunan di komunitasnya. Temuan yang didapatkan adalah perubahan kesadaran masyarakat tidak berhubungan dengan usia responden, tingkat pendidikan dan perannya dalam PNPM, namun memiliki hubungan dengan jenis kelamin, dimana peran dan keterlibatan perempuan masih rendah dan belum cukup optimal dalam mendukung pembangunan di tingkat komunitas. Masyarakat Desa Sastrodirjan telah menyadari konsep pemberdayaan dan mengerti untuk menggunakannya bagi kepentingan komunitasnya, namun untuk menuju tahapan pembiasaan masih membutuhkan pembelajaran yang lebih banyak sehingga mereka benar-benar siap untuk bertangggungjawab secara penuh dalam pengelolaan pembangunan komunitasnya. Masyarakat juga telah siap untuk melanjutkan program pemberdayaan yang selama ini telah berjalan, meskipun secara mandiri hal tersebut belum dapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat dan masih membutuhkan pendampingan yang intensif dari pihak luar serta bantuan pendanaan secara kontinyu.
2. Sagala (2009) dalam penelitiannya berjudul Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) terhadap Pengembangan Sosio-ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat di Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir, bahwa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Kecamatan Balige belum sepenuhnya dilaksanakan secara baik. Sarana dan prasarana fisik dibangun belum menjadi prioritas utama. Hal ini karena tidak jelas manfaat serta pemanfaatnya. Tingkat partisipasi masyarakat belum datang dari hati nurani tetapi masih digerakkan oleh tokoh-tokoh (informal leader) yang ada di desa tersebut. Dampak PNPM-MP terhadap kondisi sosio-ekonomi pendapatan dan pendidikan masyarakat sebelum dan sesudah adanya PNPM-MP berbeda nyata secara positif. Demikian juga pendapatan dan pendidikan masyarakat yang tidak menerima PNPM-MP juga signifikan atau berbeda nyata. Justru kenaikan pendapatan dan pendidikan masyarakat yang menerima Program PNPM-MP lebih rendah, karena umumnya masyarakatnya miskin, tingkat kualitas sumberdaya manusia rendah dan secara umum pekerjaan mereka adalah petani. Dengan adanya program PNPM-MP di Kecamatan Balige menciptakan peluang kerja kepada masyarakat.
DAFTAR REFERENSI
Chambers, Robert. (1987). Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang. Jakarta: LP3ES
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia (2008). PTO (Petunjuk Teknis Operasional) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan. Jakarta. Tim Koordinasi PNPM Mandiri Pedesaan
Dilla, Sumadi. (2012). Komunikasi Pembangunan, Pendekatan Terpadu. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Harun, Rochajat, and Elvinaro Ardianto. (2011).”Komunikasi Pembangunan Perubahan Sosial.” Bandung: Rajawali Pers
Ife, Jim & Tegoriero, Frank.(2008). Community Development; Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lippit, RJ (1992). Technology Transfer. Illinois: The Interstate Orienters & Publishers, inc.
Lippit, R.J. Watson, and B. Westley. (1958). The Dynamics of Planned Change. NewYork: Harcourt, Brace and World, Inc.
Mardikanto, Totok (2010). Komunikasi Pembangunan: Acuan bagi Akademisi, Praktisi dan Peminat Komunikasi Pembangunan. Surakarta: Sebelas Maret Universitas Press
______________ (2007). Penyuluhan Pembangunan Sebagai Landasan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Potensi Daerah. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Penyuluhan Pertanian. Surakarta: UNS-Press
Musher. 1996. Menggerakkan dan membangun pertanian. Terjemahan Ir. Krisnandhi. Jakarta : CV. Yasa Guna.
Mustaffa, Che Su. “Komunikasi pembangunan sebagai agen perubahan dalam menyampaikan mesej pembangunan.” Dlm. Asas Kefahaman Pengurusan Pembangunan, disunting oleh Dani Salleh & Abdul Rahman Aziz (2003): 153-162.
Nasution, Z. (1996). Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: Raja Grafika Persada
Pratikto, Priyono (1989). Komunikasi Pembangunan. Bandung: Alumni
Suharto, Edi. (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta
Soetrisno, Loekman (1995). Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta
Jurnal Ilmiah
Cristanty, Yulanita Cahya, and Indah Uli Wardati. “Sistem Pengolahan Data Simpan Pinjam khusus Perempuan (SPP) Pada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Mitra Usaha Mandiri Program Nasional Pemberdayan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) Kecamatan Pringkuku Kabupaten Pacitan.” Speed-Indonesian Journal on Computer Science 9.2 (2012).
Mubarak, Zaki. (2010), Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau dari Proses Pengembangan Kapasitas pada Kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan di Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro
Rihadini, Mustika (2012). Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Pada Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (PNPM MP SPP) Di Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara Pada Periode 2010 (Disertasi). Makassar: Universitas Hasanuddin
Sagala, Otto Dwana (2009). Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) Terhadap Pengembangan Sosio-Ekonomi Dan Kesejahteraan Masyarakat Di Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir (Tesis), Medan: PWD USU.
Internet:
http://lsp-fpm.or.id/ diakses 13 April 2015 pukul 02.15 WIB
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/26473/node/825/uu-no-16-tahun
2006-sistem-penyuluhan-pertanian,-perikanan,-dan-kehutanan. diakses 4 Februari 2015 pukul 16.30 WIB