Budaya Siber

Rabu (06/04) kita dikejutkan dengan mulai ramainya video yang menampilkan seorang siswi SMA memarahi polisi wanita. Kejadian ini bermula ketika polisi wanita, kemudian diketahui bernama Ipda Perida Panjaitan memberhentikan konvoi siswi-siswi yang sedang melakukan perayaan selepas Ujian Nasional. Video ini berkembang dengan cepat dan kemudian banyak dijadikan viral di media sosial. Merasa institusinya terganggu dengan video ini, pihak kepolisian pun kemudian mulai melakukan pemeriksaan terhadap beberapa pihak.
Perjalanan kasus ini berkembang sedemikian rupa dengan mencapai sebuah klimaks yang sangat ironi. Menurut pemberitaan di berbagai media, kasus ini diduda menjadi penyebab kematian dari seorang ayah yang tidak tahan melihat anaknya menjadi korban bully di berbagai media sosial. Pertanyaan besar muncul melihat fenomena ini, siapakah yang harus disalahkan media? Pihak kepolisian? Sekolah? Orang tua? Atau kita semua.
Apa itu cyberspace?
Cyberspace diperkenalkan pertama kali dalam sebuah novel Sci-fi Name oleh Vernor seorang novelis yang juga ahli matematika pada tahun 1981. Vernr menggunakan istilah the other plane untuk menggambarkan sebuah jaringan (dalam wood and smith, 2005:18). Pengertian Cyberspace menurut Gibson adalah sekumpulan data, representasi grafik demi grafik dan hanya bisa diakses melalui komputer (Bell, 2001:2003).
Cyberspace digambarkan Gibson jauh sebelum teknologi internet berkembang. Ide Gibson dalam penggunaan kata Cyberspace setelah memperhatikan fenomena keyakinan yang muncul dari anak-anak setelah mereka bermain video games. Bahwa anak-anak meyakini permainan video games adalah nyata dan semua bangunan, interaksi, maupun benda-benda yang ada dalam permainan merupakan kenyataan atau eksis meskipun kenyataan itu tidak bisa dijangkau oleh mereka. Padahal kenyataan di video games itu adalah semu. Hanya kumpulan data, grafik demi grafik yang ditampilkan dengan komputer.
Hal ini yang ketika didekatkan dengan konteks facebook, instagram, maupun media sosial lainnya diyakini sebagai sesuatu kenyataan padahal merupakan kumpulan data dan grafik yang kita tampilkan melalui komputer atau alat komunikasi lainnya. Hal ini yang coba dijelaskan oleh Tim Jordan saat melakukan penelitian di Amerika Serikat.
Tim Jordan (1999:60) menjelaskan ada dua kondisi yang menggambarkan bagaimana keberadaan individu dan konsekuensinya dalam berinteraksi di internet, yaitu (1) Untuk melakukan konektifitas di cyberspace setiap orang harus melakukan logging in seperti menulis username dan password; (2) memasuki dunia virtual kadang kala juga melibatkan keterbukaan dalam identitas sekaligus mengarahkan individu mengidentifikasi atau mengkonstruk dirinya di dunia virtual.
Secara sederhana Jordan kemudian menemukan bahwa terdapat banyak perbedaan identitas antara identitas nyata dibandingkan dengan identitas virtual. Identitas nyata merupakan identitas kita sebenarnya dalam dunia nyata. Sementara identitas virtual merupakan identitas yang kita bentuk dalam dunia maya. Identitas yang membuat kita bisa menjadi siapa saja di dunia maya. Kita bisa menjadi penceramah, tokoh agama, cendikiawan, bahkan kita bisa merubah jenis kelamin kita di dunia maya. Hasil konstruksi identitas virtual kita pada saat ini yang ternyata kita yakini sebagai identitas nyata adalah hal yang keliru. Sehingga budaya yang kita tampilkan pada dunia maya bukan merupakan representasi dari budaya kita secara nyata melainkan hasil konstruksi dari identitas-identitas virtual yang bergabung sehingga membentuk budaya baru atau budaya siber (cyberculture).
Cyberculture
Budaya siber sebagai sebuah budaya baru sudah terlanjur kita yakini sebagai bagian budaya nyata. Hal ini menjadi hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Perlu ada keterbukaan serta ruang diskusi untuk menghasilkan kesepakatan norma-norma yang kita camtumkan sebagai budaya baru yakni budaya siber. Budaya siber tidak bisa langsung kita terima sebagai bagian budaya kehidupan kita di dunia nyata. Budaya siber merupakan bentukan, hasil konstruksi dari identitas virtual yang telah mengalami hasil konstuksi. Perlu adanya kesepakatan mengenai apa yang tidak boleh dana apa yang boleh kita lakukan dalam budaya baru kita. Semga tulisan ini mencerahkan kita semua dan semoga kejadian siswi SMA ini tidak terjadi di kemudian hari.
Path

Menggugat Kepemilikan Frekuensi

Image

images

Frekuensi adalah milik negara dan digunakan untuk
kemakmuran rakyat bukan digunakan untuk golongan tertentu
Frekuensi adalah gelombang elektromagnetik yang
dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang
angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik
dan sumber daya alam terbatas. Frekuensi merupakan Sumber Daya
Alam terbatas yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
33 ayat 3 menyebutkan bahwa:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
Penguasaan penuh negara terhadap Frekuensi secara spesifik
diatur pada Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 pasal 6
ayat 2 (dua) yang berbunyi:
“Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio
yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Continue reading