1.1 Latar Belakang Masalah
Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia 2010-2014 mengungkapkan, ada lebih dari 21 juta kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota, 42-58% di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak, sisanya kasus kekerasan fisik dan penelantaran anak. Padahal, masalah perlindungan anak telah diatur oleh negara di beberapa regulasi. Salah satunya, di dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 4 disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan.
Pada kenyataannya, hak untuk bebas dari kekerasan bagi anak belum sepenuhnya terwujud dalam seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan selalu meningkat. Pada tahun 2012, Komisi Nasional Perlindungan Anak menerima 2.637 laporan pengaduan kekerasan terhadap anak, 62% dari angka tersebut adalah kekerasan seksual. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2010, yaitu 2.426 kasus dengan 42%-nya kasus kekerasan seksual dan tahun 2011, yaitu 2.509 kasus dengan 58%-nya kasus kekerasan seksual (Jurnal Perempuan, 2012).
Kekerasan seksual adalah kejahatan yang berdampak sangat besar pada korban-korbannya baik secara fisik maupun psikologis. Dalam peristiwa kekerasan seksual, bukan hanya tubuh eksternal perempuan yang disakiti, melainkan juga tubuh internalnya (Matlin, dalam Yolandasari 2015). Dengan semakin gentingnya masalah kekerasan seksual ini, maka gerakan pencegahan perlu dilakukan secara total dan berkelanjutan.
Keluarga adalah salah satu pilar terbaik dalam penanaman nilai-nilai dan pengetahuan yang bermanfaat untuk pencegahan kekerasan seksual bagi anak. Menurut Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Artinya, keluarga inti terdiri dari orang tua dan anak. Orang tua memiliki peranan yang strategis dalam melakukan fungsi pengawasan dan menanamkan bekal bagi anak yang akan berguna untuk perlindungan dirinya.
Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak berperan dalam membentuk perilaku anak. Melalui komunikasi yang efektif, orang tua dapat memberikan pandangan mengenai masalah seksualitas sehingga anak dapat mengerti mana yang seharusnya baik atau tidak baik bagi mereka, sehingga dapat mencegah ancaman kejahatan seksual. Komunikasi keluarga atau komunikasi antara orang tua dan anak ini
juga tidak hanya berupa komunikasi langsung atau tatap muka tapi juga dapat melalui media sosial seperti LINE, facebook, instagram, twitter, dan lain-lain.
Penggunaan media sosial dapat memudahkan orang tua untuk berkomunikasi dengan anak sekaligus menjadi salah satu cara orang tua dalam mengawasi konten-konten yang diakses oleh anak di media sosial. Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk meneliti “Bagaimana orang tua dalam keluarga melakukan komunikasi dengan anak untuk mengantisipasi pelecehan seksual di Kabupaten Serdang Bedagai?”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti menyimpulkan sebuah perumusan masalah, yaitu “Bagaimana orang tua dalam keluarga melakukan komunikasi dengan anak untuk mengantisipasi pelecehan seksual di Kabupaten Serdang Bedagai?”
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
– Untuk Mengungkap realitas kasus pelecehan seksual di Kabupaten Serdang Bedagai
– Untuk mengetahui peran komunikasi keluarga dan anak secara verbal dan nonverbal dalam mengantisipasi pelecehan seksual.
– Untuk menghasilkan model komunikasi keluarga dan anak yang efektif dalam mengantisipasi pelecehan seksual.