Menggugat Kepemilikan Frekuensi

images

Frekuensi adalah milik negara dan digunakan untuk
kemakmuran rakyat bukan digunakan untuk golongan tertentu
Frekuensi adalah gelombang elektromagnetik yang
dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang
angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik
dan sumber daya alam terbatas. Frekuensi merupakan Sumber Daya
Alam terbatas yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
33 ayat 3 menyebutkan bahwa:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
Penguasaan penuh negara terhadap Frekuensi secara spesifik
diatur pada Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 pasal 6
ayat 2 (dua) yang berbunyi:
“Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio
yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Kedua landasan hukum ini secara tegas menyatakan bahwa
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan apapun dalam
kepemilikan frekuensi di negara ini. Akan tetapi, realitas
kepemilikan frekuensi di Indonesia pada saat ini jauh dari tujuan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Realitas kepemilikan frekuensi pada saat ini, melekat pada
kepentingan bisnis ataupun kepentingan politik tertentu.
Konglomerasi media pada saat ini semakin tidak terbendung, media
dikendalikan orang-orang tertentu untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi dan politik. Nugroho, Putri, dan Laksmi (2012)
menyebutkan pada tahun 2011, terjadi sejumlah merger dan akuisisi
antar kelompok media di Indonesia. Indosiar Visual Mandiri
(Indosiar) dibeli oleh Elang Mahkota Teknologi, perusahaan induk
dari Surya Citra Televisi (SCTV). CT Group, perusahaan induk dari
Trans TV dan Trans 7. Ketiga stasiun ini dapat sekaligus bersiaran
di wilayah republik Indonesia.
Konglomerasi media lainnya dilakukan oleh Jaringan Jawa
Pos Nasional atas 20 stasiun televisi lokal di seluruh Indonesia.
Sementara Sindo TV sebagai bagian dari Grup MNC, memiliki 17
stasiun televisi lokal; dan stasiun televisi lokal lainnya yang bermitra
dengan kelompok-kelompok media besar. Kondisi kepemilikan ini bertambah dengan adanya Viva Group yang dimiliki oleh Aburizal
Bakrie dan Media Indonesia Group yang dimiliki Surya Paloh.
Ancaman konglomerasi media terhadap keberagaman
Konglomerasi media saat ini mengancam keberadaan
frekuensi sebagai ranah publik. Semangat desentralisasi yang dicita-
citakan dalam Undang-Undang Penyiaran no 32 tahun 2002 semakin
jauh dari harapan. Pemusatan kepemilikan media pada pihak tertentu
secara nyata mengancam keberadaan konten-konten lokal di daerah.
Frekuensi menjalankan dua fungsi penting bagi publik yaitu
fungsi ekonomi dan fungsi kebudayaan. Fungsi kebudayaan
diartikan media penyiaran sebagai alat untuk mentransformasi
kebudayaan dari satu generasi ke generasi yang lain. Penguasaan
secara terpusat pada orang-orang tertentu menjadikan konten acara
televisi atau radio cenderung seragam. Keseragaman budaya yang
menghasilkan budaya baru yang disebut adorno sebagai budaya
industri.
Bagi Adorno budaya industri adalah bentuk penipuan massa
yang menstandarisasi reaksi yang justru mengafirmasi stasus quo.
Budaya industri menggunakan teknologi untuk memproduksi
barang-barang yang menciptakan standard dengan alasan pertama-

tama demi alasan kebutuhan konsumen. Budaya industri ini
menghasilkan sirkulasi manipulasi dengan kesatuan sistem yang
semakin menguat (Adorno& Horkheimer, 1972). Keseragaman yang
menurut Adorno mengancam nilai-nilai keberagaman.
Noam Chomsky melihat media era kapitalis liberal, sarat
dengan persekongkolan. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai
diatur oleh tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik dan uang. Elite
kekuasaan dan elite bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Maka
kebebasan pers yang dijiwai demokrasi dan liberalisme, telah
disusupi corong-corong propaganda segilintir orang.
Chomsky menganalisis adanya konspirasi para elit yang
melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Penggunakan istilah
manufacturing consent, media menjadi alat kepentingan politik,
ekonomi, dan kultur kalangan eksklusif. Menurut para gatekeeper
media menjadi pion politisi dan pengusaha mencari keuntungan.
Media menjadi instrumen untuk kepentingan mereka.
Chomsky dan Herman menggambarkan model propanda kelompok
pemilik modal yang mampu menetapkan premis-premis wacana
publik, menentukan informasi apa yang boleh dikonsumsi publik,
dan terus menerus mengelola pendapat publik melalui propanda.

Makanya media massa sebagai instrumen, isinya banyak dipenuhi
oleh framing hingga kebohongan.
Peter Golding dan Graham Murdock, melihat ideologi
kapitalisme telah meresap dalam institusi media, cenderung
menggurita menjangkau kemana-mana, tetapi kontrol pemiliknya
semakin terkonsentrasi hanya pada beberapa elite saja.
Maka bisa dibayangkan jika kekuatan media sebagai
produsen budaya, produsen informasi politik, dan kekuatan ekonomi
hanya terkonsentrasi hanya pada segelintir orang. Apalagi
pemiliknya pemain politik sekaligus pemain bisnis yang powerfull.
Realitas ini yang sedang terjadi pada konteks Indonesia.
Media-media maintream yang menggunakan frekuensi tidak
digunakan untuk kemakmuran rakyat, melainkan untuk menjaga
status quo penguasa. Kondisi ini akan melahirkan sistem otoritarian
baru di negeri ini dalam waktu yang panjang. Fungsi media sebagai
watchdog kebijakan pemerintah tidak bisa berjalan disebabkan
‘kooptasi’ pemerintah. Media mainstream terjebak pada kepentingan
modal dan politik elite tertentu dan cenderung mengabaikan opini
publik.

Simpulan
Proses demokratisasi di Indonesia telah memasuki dekade
ketiganya. Berbeda dengan dua dekade awal, proses demokratisasi
di Indonesia pada dekade ketiga mengalami perlambatan. Indikator
perlambatan. Dr. Ross Tapsell, dosen senior dari Australian
University (ANU) yang fokus meneliti masalah media dan budaya di
Asia Pasifik, khususnya Indonesia mengatakan tantangan yang
dialami Indonesia adalah sama dengan yang dialami negara-negara
di Dunia yakni membayangkan sebuah cara untuk membuat dunia
menjadi tempat yang lebih baik dan lebih demokratis.
Buku ‘Media Power in Indonesia’ yang ditulis Tapsell
menemukan terdapat krisis kepercayaann terhadap media
mainstream di Indonesia, karena adanya liputan yang berpihak demi
kepentingan politik pemilik media. Hal ini menyebabkan banyaknya
muncul media alternatif dan jejaring sosial. Menurut Tapsell pemilik
media televisi sebaiknya jangan menduga rating akan tetap kuat.
Saat ini, sebagian besar orang menghabiskan lebih banyak waktu di
ponsel mereka, seperti di jejaring sosial daripada duduk menonton
televisi di malam hari.

Pluralisme media adalah jawaban terhadap media yang
partisan. Media mainstream yang menggunakan frekuensi harus
kembali pada tujuan dasar yang tercantum dalam Undang-Undang
Dasar dan Undang-Undang Penyiaran. Frekuensi digunakan sebaik-
baiknya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan
pemilik media ataupun kepentingan politik tertentu. Apabila dalil ini
tidak dijalankan oleh media yang menggunakan frekuensi, maka
sudah sepatutnya rakyat Indonesia mengambil kembali ‘kuasa’
mereka terhadap frekuensi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *